Dirjen PHI-JSK Kemnaker Lakukan Pertemuan Dengan JAPBUSI Dan GAPKI Terkait Peningkatan Kerja Layak Pada Industri Sawit

24/08/21

INAnews.co.id, Jakarta – Kementerian Ketenagakerjaan melalui Dirjend PHI – JSK tengah fokus melakukan langkah-langkah strategis menghadapi masalah dan tantangan pada para buruh dan pekerja yang berada di sektor Industri Sawit.

Rapat yang di pimpin oleh Staffsus Kemnaker, Dita Indasari dan Dirjen PHI, Dra. Indah Anggoro berlangsung dengan JAPBUSI dan GAPKI dengan difasilitasi ILO, CNV maupun berbagai pihak lainnya berlangsung Ruang rapat Gedung Kemnaker Jakarta pada Kamis (17/6/2021).

Pertemuan ini diadakan sebagai upaya pencapaian peningkatan kerja layak di industri sawit dengan menjaring pokok pokok pikiran dari serikat pekerja / serikat buruh sawit Indonesia. Perwakilan serikat buruh yang hadir pada pertemuan itu adalah FSB – Hukatan KSBSI , FSB Lomenik KSBSI, FSB – Nikeuba KSBSI, FSB – Kamiparho KSBSI, FSB – FTA KSBSI, SPSI Yoris, SPSI Andi Gani, FKUI – SBSI dan F-Sarbumusi.

Hasil pertemuan itu menghasilkan beberapa pokok pokok pikiran dan usulan diantara adalah :

1. Permasalahan Hubungan Kerja : pada permasalahan ini yang paling krusial adalah masih adanya  Kontrak kerja PKWTT untuk pekerja perkebunan sawit, Dengan adanya fleksibilitas yang lebih tinggi pada UU CIKA sekarang ini dapat mengancam para pekerja perkebunan yang dikontrak dengan sistem harian. Terdapat kasus-kasus yang muncul dimana para pekerja harian bekerja selama bertahun-tahun dengan system kerja seperti ini. Hal ini mengakibatkan para pekerja tidak dapat mendapatkan hak-hak mereka yang layak baik itu upah maupun kondisi kerja. Terkait hal ini kami menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah langkah sebagai berikut :

A. Memfasilitasi proses untuk memperjelas hal-hal tentang definisi pekerjaan inti  dan tidak inti yang senantiasa menjadi perdebatan untuk menentukan tipe hubungan kerja.

B. Menetapkan dengan regulasi yang jelas terkait pekerjaan inti dan tidak inti, batasan-batasan atau kriteria penetapan kriteria musiman, penghitungan pekerjaan dengan berbasis satuan waktu di perkebunan dan pabrik  pengolahan kelapa sawit.

– Status kerja di perkebunan kelapa sawit, sikap dan peranan pemerintah, kaitannya dengan UU No. 11 Tahun2021 (PP 35, PP36)

– Outsourcing Dengan adanya pemberlakuan outsourcing, dalam beberapa lokakarya yang diadakan selama 6 bulan terakhir oleh SP/SB yang difasilitasi oleh ILO, Kami mendapatkan laporan bahwa mulai terjadi PHK para pekerja    dengan dalih untuk mulai masuk dalam proses perubahan kontrak ke UUCIKA. Lebih lanjut lagi kecendrungan kontrak kerja yang dimiliki oleh para pekerja yang bekerja pada perusahaan alih daya tidak lebih baik. Oleh karena itu kami minta pemerintah dapat :

a. Menertibkan para perusahaan penyedia tenaga kerja

b. Melakukan pembinaan agar perusahaan-perusahaan outsourcing pada rantai pasok kelapa sawit juga dapat memberikan perlakuan yang lebih baik bagi para pekerja. Contohnya pemberian peralatan K3 yang memadai, dan kontrak yang memberikan jaminan keamanan pekerjaan dan penghasilan serta perlindungan jaminan sosialnya.

c. Pembinaan terhadap para perkebunan yang dikelola oleh petani mandiri atau swadaya. Dalam konteks ini para petani yang mempekerjakan pekerja tidak memahami norma-norma ketenagakerjaan yang berlaku.

2. Melakukan Dialog Sosial Hubungan Industrial, Pentingan dilakukan dialog sosial untuk mendapatkan solusi terbaik. Meskipun kondisi hubungan dialog social di Indonesia secara umum dikategorikan kondusif, namun di perkebunan kelapa sawit  masih banyak ketimpangan yang terjadi. Masih banyak perusahaan yang belum menerima keberadaan serikat pekerja maupun serikat buruh, dan kondisi hubungan dalam kelembagaan bipartite di tempat kerja masih tidak berjalan dengan baik. Hal yang sama juga ada pada tingkat sectoral, hingga sekarang meskipun Industri sawit sudah menjadi industri unggulan Nasional namun tidak ada forum tripartite yang menaungi untuk membahas isu-isu yang muncul terkait ketenagakerjaan di industri sawit. Hal ini sudah lebih dari 20 tahun sejak Indonesia mengeluarkan berbagai peraturan tentang lembaga triparti dan bipartite serta penghormatan kebebasan berserikat. Oleh karena itu kami minta pemerintah untuk :

A. Meningkatkan pembinaan tentang kebebasan berserikat dan perundingan bersama di industri kelapa sawit
B. Pembinaan lembaga-lembaga bipartite dan pengembangan lembaga tripartite sectoral untuk menjadi wadah bagi konstituen tripartite dalam mencara permasalahan terhadap berbagi isu-isu ketenagakerjaan yang belum diatur dalam peraturan ketenagakerjaan yang ada.
C. Pembinaan kapasitas serikat pekerja dan serikat buruh yang ada di Industri kelapa sawit
D. Penertiban lembaga-lembaga yang mengatas namakan serikat pekerja atau serikat buruh namun tidak merefleksikan peran sebagai serikat pekerja atau serikat buruh.
E. Memberikan pembinaan terhadap Forum Dialog Sosial Tripartit Pemerintah di daerah maupun di tingkat pusat. Pada saat ini, dengan fasilitasi ILO, GAPKI dan JAPBUSI mendukung pemerintah untuk dapat mengembangkan lembaga dimaksud agar situasi Hubungan Industrial  di Kelapa sawit dapat semakn baik. Pada tahun lalu beberapa inisiati yang dikembangkan untuk mendorong kerja tripartite adalah :

E.1. Serial dialog ketenagakerjaan antara Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh di Industri Kelapa sawit, dialog yang berkelanjutan.

E.2. Usulan adanya pemberlakuan protokol kesehatan di lokasi kerja

E.3. Melakukan Training bersama tentang Dialog Sosial dengan ILO, Kemnaker dan GAPKI.

E.4. Training KNK Bersama

E.5. Pengembangan rencana Forum Dialog Sosial JAPBUSI dan GAPKI.

Selama ini  CNV, GAPKI dan JAPBUSI pun telah melakukan :

  • Pelatihan Perjanjian kerja bersama di Riau dan Kalimantan Barat.
  • Penguatan kapasitas serikat pekerja dan pengusaha.

F. Pemerintah perlu mengupayakan pembinaan terhadap serikat petani yang juga mulai marak muncul terkait hubungan industrial.

3. Permasalahan Pengupahan para buruh dan pekerja yang berada di sektor Industri Sawit. Dengan dihilangkannya peraturan tentang upah minimum sectoral dapat mengancam kesejahteraan buruh yang selama ini memang masih mendapatkan upah dibawah upah minimum yang berlaku di daerah baik itu propinsi maupun kabupaten. Terkait hal ini serikat buruh yang hadir menyerukan pemerintah dapat :

  • Membuat regulasi atau panduan turunan dari PP 36 tentang pengupahan untuk sector perkebunan untuk menghindarkan multi interprestasi terhadap peraturan tersebut di perkebunan kelapa sawit. Pada saat ini RSPO telah mengeluarkan panduan untuk Living wage yang dapat membuat kebingungan para pelaku baik itu perusahaan maupun pekerja.
  • Memperjelas pengaturan terkait tunjangan-tunjangan yang sering kali dimasukan sebagai komponen upah di perkebunan. Pada banyak kasus banyak perusahaan memasukan komponen tunjangan natura, tunjagan air, tunjangan perumahan sebagai komponen upah sehingga terlihat upah yang diberikan besar namun jumlah yang diterima oleh pekerja tidak sama dengan jumalh yang diterima, dan hal ini juga mempengaruhi jumlah upah yang dilaporkan ke BPJS jamsos sebagai dasar perhitungan bagian yang menjadi tanggungan pengusaha.
  • Panduan perhitungan upah berdasarkan satuan hasil yang berbeda-beda yang sering kali menyebabkan pekerja untuk menggunakan tenaga kerja tambahan seperti istri dan anak-anak mereka untuk mencapai quota mereka.