Cabut Izin Operasi, Bupati Sorong Digugat Perusahaan Sawit

31/08/21

Manokwari, CNN Indonesia — Bupati Sorong, Provinsi Papua Barat, Johny Kamuru digugat tiga dari empat perusahaan sawit yang izin operasinya dicabut.

Keempat perusahaan yang izinnya dicabut itu yakni PT Cipta Papua Plantation yang berlokasi di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha. PT Papua Lestari Abadi yang berlokasi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha.

PT Sorong Agro Sawitindo yang berlokasi di Distrik Segun, Klawak dan Klamono dengan luas lahan 40.000 ha, serta PT Inti Kebun Lestari yang berlokasi di Distrik Salawati, Klamono dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Perizinan yang dicabut itu di antaranya terkait izin lokasi, izin lingkungan dan izin usaha perkebunan.

Johny mengatakan pencabutan izin itu sudah melalui kajian lapangan serta berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi Papua Barat dan tim Korsup KPK.

Dia menyebut ada beberapa alasan yang menjadi dasar pencabutan izin itu harus dilakukan tanpa toleransi.

“Intinya dari sekian luas hektar lahan, hanya beberapa hektar saja yang digunakan untuk penanaman sawit. Beberapa kali juga perusahaan melakukan pergantian menajemen, dengan bendera perusahaan yang sama serta alasan lain yang menjadi dasar pancabutan izin,” ujar Johny dalam Diskusi Publik dan Konfrensi Pers Daring oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Papua, Senin (30/8).

Dia mengatakan pencabutan itu juga demi masyarakat adat, kelestarian alam, kesinambungan pembangunan dan hak asasi manusiam. Setelah pencabutan izin, kata Johny, secara otomatis lahan itu dikembalikan kepada masyarakat adat.

Usai pencabutan yang dilakukan pada 27 April 2021, lanjut Jhony, pihak perusahaan menyampaikan surat keberatan. Namun surat itu belum sempat dijawab.

“Ternyata, melalui pengacara perusahaan mereka mendaftarkan gugatan di PTUN Jayapura. Tidak masalah, kemarin kita ke Jayapura menghadiri sidang, ternyata mereka (penggugat) tidak hadir,” ujarnya.

Pengacara Pemkab Sorong, Pieter Ell mengatakan ada 4 register perkara oleh 3 perusahaan yang mengajukan gugatan.

“Hari ini perkara nomor register 29 dan 30 sudah disidangkan secara daring dengan materi sidang pembacaan gugatan. Sedangkan perkara nomor register 31 dan 32 akan dilakukan pada 6 Agustus 2021 mendatang,” ujarnya dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (30/8).

Dia mengatakan para penggugat merasa dirugikan terkait pencabutan izin itu. Pencabutan itu dianggap sebagai tindakan melanggar hukum yang merugikan perusahaan.

“Kami perlu pertegas bahwa proses pencabutan izin dilakukan bukan tiba waktu, tiba akal, melainkan proses panjang sejak 2018 melalui evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat yang diinisiasi oleh KPK melalui tim Korsup yang kemudian ditindak lanjuti oleh pemerintah Provinsi dan juga Kabupaten Kota termasuk Kabupaten Sorong,” katanya.

Menurutnya, pemerintah tidak mencari-cari kesalahan. Keputusan pencabutan izin dilakukan demi kepastian hak kepada perusahaan, masyarakat dan juga negara.

“Jadi apa yang dilakukan Bupati Sorong itu sudah sesuai dengan aturan. karena memang ada dosa-dosa perusahaan yang nanti akan kita beberkan di pengadilan,” ungkapnya.

Langkah Bupati juga kata dia adalah keputusan tegas putra daerah MOI, Kabupaten Sorong, yang mana suara kenabian Bupati itu diwujudkan dalam bentuk pencabutan izin usaha demi hak-hak masyarakat adat.

“Ini baru terjadi, sehingga banyak apresiasi dari semua pihak yang mendukung keputusan Bupati Kabupaten Sorong,” ungkapnya.

Sementara itu, anggota DPD Mamberop Rumakiek meminta Presiden Joko Widodo segera menetapkan hutan Papua sebagai hutan adat.

“Presiden katakan hutan Papua jangan dia apa-apakan karena ada otonomi khusus dan sebagainya, tapi faktanya, hutan Papua tidak dihargai,” katanya.

Dia mencontohkan, izin konsensi yang langsung diberikan oleh pemerintah pusat yang menurutnya tanpa berkoordinasi dengan masyarakat adat atau bahkan pemerintah Kabupaten dan Provinsi.

Namun, perusahaan datang dengan menunjukkan izin dan pemerintah daerah sudah tidak bisa lagi membatalkan itu. Padahal, di era otonomi khusus, kewenangan itu harusnya ada di pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.

“Daripada bolak balik papua terus-menerus tapi masalahnya bertambah-tambah, lebih baik Presiden tetapkan hutan Papua sebagai hutan masyarakat adat. Apapun yang terjadi di hutan Papua, menjadi tanggung jawab masyarakat adat, sehingga tidak ada lagi izin konsensi yang diberikan,” ujarnya.

Selain pemerintah pusat, menurutnya, Pemerintah Papua Barat juga tidak lepas tangan dengan persoalan yang menimpa Pemkab Sorong saat ini. Apalagi Gubernur Papua Barat telah mendeklarasikan Provinsi ini sebagai Provinsi Konservasi.

“Ini bukan perkara yang semata-mata harus ditanggung Bupati Sorong. Tapi juga harus jadi tanggung jawab Gubernur Papua Barat. Karena menjadi miris ketika persoalan ini terjadi di Provinsi konservasi,” katanya.

Menurutnya, jika hak masyarakat adat MOI bisa digugat di atas tanahnya sendiri, maka hal itu bisa berdampak dan berpotensi terjadi terhadap masyarakat adat lainnya.

“Untuk itu, kita harus bersatu mendukung kebijakan Bupati Sorong. Sebagai anggota DPD RI, ini juga menjadi tugas saya untuk memperjuangkan hak masyarakat adat,” ujarnya.