Jokowi Jangan Sampai Salah Pilih Soal Moratorium Sawit, Taruhannya Luar Biasa

24/09/21

InfoSAWIT, JAKARTA – Inpres Moratorium Sawit habis masa berlakunya sejak 19 September 2021. Agar tata kelola sawit semakin terjamin, Presiden Joko Widodo perlu melanjutkan beleid ini.

Direktur Program SPOS Indonesia, Irfan Bakhtiar mengatakan, moratorium masih diperlukan agar pemerintah menuntaskan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Dengan melanjutkan moratorium, pemerintah juga perlu segera memastikan upaya yang luar biasa untuk menyelesaikan hal itu.

“Kita masih perlu moratorium jilid II. Kalau tidak dilanjutkan, negara dan petani justru akan mengalami banyak kerugian,” tutur Irfan dalam acara diskusi panel dengan tema Moratorium Sawit : Apa Setelah Tenggat  3 Tahun? Diskusi secara daring ini diadakan oleh Yayasan Kehati bekerjasama dengan Katadata dan Penguatan Kelapa Sawit Berkelanjutan (SPOS) Indonesia, seperti dalam keterangan resmi pada Jumat (24/9/2021).

Kata Irfan, saat ini, masih ada persoalan terkait lahan perkebunan sawit di kawasan hutan yang belum tuntas. Dari 3,4 juta hektar (ha) kebuh sawit di kawasan hutan, baru sekitar 600 ribu-an hektar perkebunan perusahaan yang sudah mengajukan pelepasan. Hingga saat ini, belum ada langkah penyelesaian terhadap pelanggaran ataupun keterlanjuran yang terjadi.

“Kebun sawit rakyat di kawasan hutan juga masih sangat minim yang teridentifikasi. Langkah penyelesaian yang diharapkan melalui reformasi agraria juga belum dilakukan. Pendataan data kebun sawit, terutama sawit rakyat, belum terkonsolidasi dengan baik antar instansi pemerintah,” kata dia.

Masih kata Irfan, saat ini, data yang dihimpun SPOS Indonesia, menunjukkan kebun sawit rakyat yang sudah ber-STDB baru 28 ribu ha. Meleset dari klaim 40% dari total tutupan sawit (6,7 juta hektar). Sedangkan dari sisi produksi, kata dia, upaya peningkatan produktivitas masih jauh dari harapan. Peremajaan sawit baru terealisasi kurang lebih 63 ribu hektar.

Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit atau dikenal sebagai moratorium sawit ditandatangani Presiden Jokowi pada 19 September 2018. “Setelah Inpres berakhir 19 September 2021, pemerintah belum menentukan sikap apa-apa. Apakah dihentikan atau melanjutkan moratorium,” kata dia.

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ruandha Agung Sugardiman mengatakan, pihaknya telah melakukan evaluasi dan menyusun kembali langkah-langkah untuk menata sawit.

Secara marathon, dengan instansi kementerian lainnya, KLHK terus mengidentifikasi berapa banyak kebuh kelapa sawit yang merambah ke dalam kawasan hutan. “Usulan-usulan untuk mempercepat penataan sawit sudah kami ajukan ke presiden dan masih menunggu tanggapan dari bapak presiden,” kata Ruandha dalam kesempatan yang sama.

KLHK juga telah menyusun berbagai bentuk sanksi atas pelanggaran tersebut. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, seluas 3,37 juta hektare (ha) lahan sawit berada dalam kawasan hutan dan baru sekitar 700 ribu ha yang telah selesai diproses penyelesaiannya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono mengungkapkan, luas tutupan sawit di Indonesia sebesar 16.38 juta ha. Dari luasan itu yang sangat menarik dikupas dan jadi problem klasik adalah sawit yang ada di kawasan hutan seluas 3,3 juta ha. “Distribusi sawit terluas ada di Sumatra dan Kalimantan sedangkan ke wilayah Indonesia timur baru beberapa,” kata Kasdi.

“Langkah moratorium ini akan sangat berdampak pada peremajaan sawit. Selama moratorium, tidak boleh ada ekspansi lahan untuk sawit. Kami harus berfokus pada peremajaan sawit di lahan yang sudah ada,” Kasdi menambahkan.

Menurut dia, salah satu agenda presiden adalah menetapkan replanting atau peremajaan 500.000 ha sawit dalam tiga tahun. Pahala Sibuea, Ketua Umum Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (POPSI) mendukung kelanjutan morarotium sawit. Moratorium dirasakan sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemitraan petani sawit. “Hal itu justru memberi kepastian bagi perusahaan untuk menata kemitraan yang berkelanjuan dengan petani swadaya,” kata Pahala. (T3)