Pekerja Perkebunan Sawit Butuh Pengawasan Ketat Kemnaker, Kenapa?

28/07/22

Liputan6.com, Jakarta Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menerima audiensi Jejaring Serikat Pekerja Sawit Indonesia (Japbusi) di Kantor KSPSI, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dalam audiensi tersebut, banyak membahas kesejahteraan pekerja di sektor perkebunan kelapa sawit.

Apalagi, sektor kelapa sawit merupakan salah satu sektor industri yang berperan penting terhadap perekonomian Indonesia dan menyerap banyak tenaga kerja.

Andi Gani menjelaskan, permasalahan ketenagakerjaan di sektor sawit selain soal kesejahteraan, banyak pekerja yang belum terlindungi secara optimal.

“Perbedaan status ini berpengaruh ke perolehan hak dan jaminan sosial pekerja. Buruh harian lepas biasanya tidak bisa mendapatkan jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan ataupun Ketenagakerjaan,” katanya, Kamis (28/7/2022).

Andi Gani mengapresiasi para pekerja di sektor sawit. Menurutnya, pekerja sawit sangat tangguh karena lokasi perkebunan biasanya berada di kawasan hutan

Untuk itu, kata Andi Gani, sektor perkebunan sawit membutuhkan pengawasan ekstra tinggi dari Kementerian Ketenagakerjaan.

“Lokasi perkebunan sawit yang sangat jauh dari kota sehingga berakibat rendahnya pengawasan dan penegakkan hukum disana,” ungkapnya.

Menurut data Japbusi, ada 4,45 juta pekerja perkebunan kelapa sawit. Persentase pekerja perempuan 30-35 persen atau setara 1,5 juta pekerja. Namun, tidak banyak perempuan berstatus pekerja tetap. Ini membuat mereka sulit menerima upah yang layak.

Sebelumnya, Sekretaris Eksekutif Japbusi Nursanna Marpaung mengatakan, isu pekerja di sektor sawit banyak terkait keselamatan dan kesehatan kerja.

Selain itu, alat pelindung diri di lingkungan kerja minim sehingga pekerja rentan terpapar zat kimia. Adapun, pekerjaan perempuan di perkebunan kelapa sawit mencakup pembersihan lahan, pembibitan dan penyemaian, penyemprotan dan pemupukan, perawatan, serta pemanenan.

Untuk diketahui, Japbusi berdiri pada 5 Desember 2018 dan didirikan oleh 9 federasi. Tujuannya memperkuat dialog sosial dengan pengusaha, dan Pemerintah serta berbagai pemangku kepentingan yang terkait di sektor kelapa sawit.