Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Masih Dianggap Mahal, Padahal Risikonya Makin Tinggi

10/05/23

JAPBUSI.ORG, JAKARTA – Perubahan teknologi, iklim, degradasi lingkungan, dan migrasi akan membawa konsekuensi bekerja yang berbeda dengan sebelumnya. Hal ini juga diikuti kemunculan risiko baru keselamatan dan kesehatan kerja.

Upaya meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 relatif masih dianggap mahal. Padahal, risiko baru K3 semakin berkembang yang di antaranya dipengaruhi oleh perubahan teknologi, iklim, degradasi lingkungan, dan migrasi.

Jam bekerja terlalu panjang masih menjadi fenomena yang terjadi, bahkan di tengah adopsi pesat teknologi digital untuk dunia kerja. ”Jangan berpikir setelah ada pemakaian teknologi digital, lantas manusia (pekerja) tidak lagi mengalami risiko K3. Bekerja melebihi jam kerja ideal di depan layar komputer ataupun mengendalikan robot produksi berjam-jam tetap akan mengganggu kesehatan pekerja jangka panjang,” ujar Programme Officer ILO Country Office for Indonesia and Timor Leste Abdul Hakim, saat menghadiri diskusi 2023 World Day for Safety and Health at Work, belum lama ini di Jakarta.

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Tenaga Kerja Dunia (ILO), sebagian besar kematian dalam pekerjaan berasal dari kelelahan akibat paparan jam kerja tinggi. Tahun 2016, misalnya, jumlah kematian karena jam kerja ini mencapai 745.000 jiwa dari 1,9 juta kematian akibat kerja di 183 negara.

Jam kerja terlalu panjang didukung oleh kebutuhan, baik dari sisi pekerja maupun pengusaha. Dengan jam kerja lebih panjang, masih banyak pekerja beranggapan bisa mendapatkan pendapatan lebih banyak, sedangkan sejumlah pengusaha meyakini hal itu sebagai cara tetap untung.

Dari sisi regulasi, dia menyebut keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang jam kerja lebih panjang karena diperbolehkannya lembur lebih lama. ”Migrasi pekerja, terutama dari tempat tinggal mereka yang berada relatif jauh dari tempat bekerja karena berada di daerah penyangga, juga bisa memicu jam kerja semakin panjang,” ujarnya.

Perubahan iklim dan degradasi lingkungan juga membawa risiko K3 bagi pekerja. Misalnya, muncul aneka potensi wabah penyakit baru.

Di tingkat global, paparan bahan kimia berbahaya, termasuk polutan, debu, uap, dan asap juga tetap menjadi K3. Lebih dari satu miliar pekerja masing-masing terpapar zat berbahaya tersebut tahun ini.

Menurut dia, masih banyak yang beranggapan meningkatkan upaya yang mendukung K3 sebagai sesuatu yang mahal. Upaya itu dianggap sebagai sesuatu yang terpisah. Di kalangan pekerja usia muda, yang sekarang semakin mendominasi pasar kerja, mereka cenderung berani menerobos risiko karena berbagai macam hal. Misalnya, enggan dilatih K3 dan mau menunjukkan prestasi semata.

Sesuai laporan tahunan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, pada 2020 terdapat 221.740 kasus angka kecelakaan kerja. Berikutnya, pada 2021 terdapat 234.370 kasus. Adapun sepanjang Januari -November 2022 tercatat 265.334 kasus (Kompas, 13/1/2023).

Perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Maria Emeninta berpendapat, advokasi pentingnya K3 masih lebih banyak menyasar kepada pekerja formal. Padahal, K3 sama pentingnya bagi mereka yang bekerja di sektor informal.

”Cakupan risiko K3 itu luas, termasuk risiko kekerasan dan pelecehan seksual di tempat kerja. Kesadaran adanya kedua jenis risiko ini seharusnya dimiliki oleh pekerja sekaligus pekerja,” ujarnya.

Berdasarkan survei Kekerasan dan Pelecehan Di Dunia Kerja Indonesia 2022 yang dilakukan oleh ILO dan Never Okay Project kepada 1.175 orang responden pekerja, 77,40 persen di antaranya pernah menjadi korban kekerasan dan pelecehan psikologi di tempat kerja selama 2020–2022. Sebanyak 54,81 persen responden menyebut pelakunya adalah atasan atau rekan kerja senior.

Maria mengatakan, prinsip K3 yang di dalamnya menyangkut pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual di tempat bekerja perlu masuk ke dalam perjanjian kerja bersama (PKB). Sayangnya, karena kesadaran masih rendah, jumlah PKB yang memasukkan dua risiko K3 masih minim. Dia menyebut kurang dari 20 PKB pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual yang dibuat serikat di bawah KSBSI.

”Kalaupun belum masuk ke PKB, kami mendorong anggota serikat buruh agar mengusahakan ada nota kesepahaman dengan pengusaha. K3 itu mutlak, tidak bisa ditawar. Apalagi, jika pekerja mengalami kekerasan ataupun pelecehan seksual di tempat kerja,” katanya.

Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Haiyani Rumondang mengatakan, penerapan budaya K3 yang baik mampu mengurangi potensi kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja yang pada akhirnya mampu meningkatkan produktivitas kerja. Di setiap tempat kerja perlu ditempatkan penggerak dan pembina K3 kepada pekerja.

Awal April 2023, Kemenaker menggelar pelatihan kompetensi kepada 2.700 orang ahli K3 umum dari daerah-daerah. Kemenaker mengklaim berusaha melakukan pembaharuan norma, standar, kriteria, dan prosedur K3. Di samping itu, Kemenaker berupaya meningkatkan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan K3. (sumber;kompas)