Pekerja Sawit Masih Jadi Korban Sistem: Banyak Perusahaan Abaikan Hak Normatif dan Kesejahteraan Buruh

Dibuat Oleh FSP KEP KSPSI-CAITU • 11 Nov 2025

SANGATTA -- Di balik gemerlap ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar Indonesia, terselip kenyataan pahit yang masih menghantui ribuan pekerja di sektor perkebunan sawit. Pengabaian terhadap hak-hak normatif seperti pesangon, upah lembur, dan jaminan sosial masih sering terjadi — bahkan di perusahaan besar yang beroperasi di daerah kaya sumber daya seperti Kutai Timur. Kasus yang menimpa 22 mantan karyawan PT Anugerah Energitama Bengalon hanyalah satu dari sekian banyak contoh ketimpangan hubungan industri yang menempatkan pekerja pada posisi lemah.(Selasa,11/11/2025)

Setelah bertahun-tahun mengabdi di lapangan, mereka justru harus memperjuangkan hak PHK yang belum komprehensif — padahal kewajiban itu diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Pemutusan Hubungan Kerja.


Ketua FSP KEP SPSI Kutai Timur, Jurifer Sitinjak, S.Pd, menilai fenomena pengabaian hak buruh di sektor perkebunan maupun tambang di Kutim bukan hal baru. Ia menyebut masih banyak perusahaan yang berlindung di balik kontrak kerja jangka pendek atau status outsourcing, untuk menghindari tanggung jawab normatif seperti pesangon.

 “Banyak perusahaan besar yang masih memperlakukan pekerja seperti tenaga kerja sementara, padahal sudah bertahun-tahun bekerja. Ketika PHK terjadi, hak normatif seperti pesangon sering kali diabaikan,” ungkap Jurifer.

Ia menegaskan, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan di tingkat daerah membuat pelanggaran seperti ini terus berulang. Buruh yang menuntut haknya sering dihadapkan pada proses panjang mediasi yang lamban dan melelahkan, sementara perusahaan seolah-olah tidak tersentuh hukum.

“Kami melihat ada pola pembiaran. Pemerintah daerah harus tegas. Jika perusahaan tidak patuh pada aturan ketenagakerjaan, jangan hanya dipanggil mediasi — harus ada sanksi administratif bahkan pidana,” tambahnya.

Sementara itu, sejumlah mantan pekerja mengaku kecewa karena merasa diperlakukan tidak manusiawi setelah bertahun-tahun mengabdi.
Sebagian mengandalkan pekerjaan serabutan sejak di-PHK, sementara pesangon yang menjadi hak dasar mereka belum juga diterima.

“Kami bukan minta belas kasihan, kami hanya minta hak kami dibayar,” ujar salah satu mantan karyawan dengan nada getir.

Kasus di Bengalon ini menjadi cerminan permasalahan struktural di sektor perkebunan sawit nasional, di mana sistem kontrak kerja dan lemahnya perlindungan buruh sering menjadi alat untuk menekan pekerja.
Di satu sisi, industri sawit menjadi kebanggaan ekspor nasional, namun di sisi lain, pekerjanya justru hidup dalam perdagangan.

Jika tidak ada langkah tegas dari pemerintah dan pengawasan ketenagakerjaan manusia yang konsisten, maka sektor yang disebut “penopang ekonomi rakyat” ini akan menyisakan jejek ketimpangan dan pengabaian terhadap martabat manusia.